Perbandingan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Serta Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007
TUGAS INDIVIDU
(Kelembagaan
Daerah)
Perbandingan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Serta
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas UAS Mata
Kuliah
Sistem Pemerintahan Desa Semester IV pada Program Studi Ilmu Pemerintahan
Dosen : Mochamad Usman, S.Sos., M,Si.
Nama
: Firmansyah
(41714011)
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2 0 1 6
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan
hidayah-nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Pembuatan
makalah ini untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Pemerintahan Daerah dalam
pembahasan Kelembagaan Daerah yang berkaitan dengan Perbandingan dan Kritisi
terhadap UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Pembuatan makalah ini dilaksanakan atas bimbingan materi dan
penjelasan-penjelasan yang telah diberikan oleh Dosen Sistem Pemerintahan
Daerah yakni Bapak Mochamad Usman, S.Sos., M,Si. Selaku dosen mata kuliah
Sistem Pemerintahan Daerah . Oleh karena itu perkenankan saya menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Bapak Mochamad Usman, S.Sos., M,Si sebagai dosen pembimbing
mata kuliah Sistem Pemerintahan Daerah.
Saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
Penulisan Makalah ini. Akhir harapan penulis adalah semoga Penulisan Makalah
ini dapat bermanfaat, bagi penulis serta para pembaca Penulisan Makalah ini.
Bandung,
29 Juni 2016
Penulis
Firmansyah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk
penyelenggaraan administrasi pemerintahan serta program dan kegiatan
pemerintah, Kepala Daerah baik itu Gubernur dan Bupati/Walikota dibantu oleh
perangkat daerah. Perangkat Daerah atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
merupakan organisasi atau lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab
kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Perangkat Daerah dibentuk oleh masing-masing Daerah berdasarkan pertimbangan
karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah.
Dasar
utama penyusunan organisasi perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi
adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri
atas urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti setiap penanganan
urusan pemerintahan harus dibentuk kedalam organisasi tersendiri. Pembentukan
perangkat daerah semata-mata didasarkan pada pertimbangan rasional untuk
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangandaerah secara efektif
dan efisien. Urusan wajib dan urusan pilihan dapat dilihat disini.
Penataan
Organisasi Perangkat Daerah serta penyusunan struktur organisasi pada Satuan
KerjaPerangkat Daerah (SKPD) saat ini dilakukan berdasarkan pada kerangka
regulasi serta kebutuhan obyektif dan kondisi lingkungan strategis daerah.
Kerangka regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007
sebagai perubahan terhadap PeraturanPemerintah sebelumnya. Selain PP No.
41/2007, penataan kelembagaan perangkat daerah juga memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang memiliki relevansi dengan program penataan organisasi.
Berdasarkan
Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah perangkat daerah
provinsi dan kabupaten/kotaPeraturan Undang-undang tentang Kelembagaan Daerah
merupakan salah satu kebijakan politik yang dirancang untuk membangun format
pemerintahan yang bisa memberikan dukungan
terhadap kekokohan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah
satu upaya menjaga keutuhan NKRI,
struktur pemerintahan harus dirancang
sentralistis. Ide revisi itu berangkat dari kesatuan, sedangkan
kemajemukan masyarakat daerah hanya
sekadar diakomodasi.
Undang-undang
akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal
dalam undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman.
Demikian juga dengan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Dulu
undang-undang yang digunakan adalah UU No. 5 tahun 1974, kemudian seiring
berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999. dan yang terakhir
digunakan sekarang adalah UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 23 tahun 2014.
Sebelum UU No.5 digunakan, terlebih dahulu ada UU No.18 tahun 1965.
Mengenai
Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi:
“Pembagian
Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan
pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam
Daerah-Daerah yang bersifat istimewa ”
Dari
ketentuan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Wilayah
Indonesia dibagi ke dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom maupun yang
bersifat administratif
2. Daerah-daerah
itu mempunyai pemerintahan
3. Pembagian
wilayah dan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan atau atas kuasa UU
4. Dalam
pembentukan daerah-daerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam
menentukan susunan pemerintahannya harus diingat permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat
istimewa.
Dalam
makalah ini, akan saya bahas mengenai perbedaan dalam UU No. 32 tahun 2004 dan
UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Letak
geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan
ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di
daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan
adanya berbagai suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien
dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan
dari pemerintah pusat.
Di
era reformasi ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan
cepatnya penyaluran aspirasi rakyat di daerah, namun itu juga tetap berada di
bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai
terdapat munculnya ancaman-ancaman terhadap keutuhan NKRI, hal tersebut
ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya alam daerah di Indoinesia yang tidak
merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem
pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber
pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional.
Oleh
sebab itu, Pemerintah daerah di Lahirkan di Indonesia. Agar Masyarakat
Indonesia yang berada jauh dari Ibu kota bisa juga merasakan Kesejahteraan
hidup dalam suatu pemerintahan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Kelembagaan Daerah di Indonesia?
2. Apakah
Fungsi Dan Tujuan Di Bentuknya Pemerintahan Daerah?
3. Bagaimana
Sistem Pemerintah Daerah Indonesia?
4. Bagaimana
Perbandingan antara Undang-Undang No. 32 2004 dengan undang-undang No. 23 2014?
1.3 Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian Dari Pemerintahan Daerah
2. Untuk
Mengetahui Fungsi Dan Tujuan Dibentuknya Pemerintah Daeerah
3. Untuk Mengetahui Sistem Pemerintahan Daerah Di
Indonesia
4. Untuk
Mengetahui Perbandingan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah (kelembagaan
daerah).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kelembagaan Daerah
(Pemerintahan Daerah)
Definisi
Kelembagaan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana
telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai berikut:
“Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
Melihat
definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka yang
dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan-urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi
atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.
2.2 Fungsi dan Tujuan Kelembagaan
Daerah
2.2.1 Fungsi Kelembagaan daerah
Berbagai
argument dan penjelasan mengenai fungsi Kelembagaan Daerah yaitu :
1.
Untuk terciptanya efisiensi-efektivas
penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi
kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan,
politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dll. Selain itu
juga mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah diungkapkan, fungsi
regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa, dan fungsi
ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka sarana
membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2.
Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak
kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan
kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah
negara. Alexis de’ Tocqueville mencatat bahwa “town meetings are to leberty
what primary schools are to science; the bring it within the people reach, they
teach men how to use and how to enjoy it. John Stuart Mill dalam tulisannya
“Represcentative Goverment” menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan
menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik
dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan
politik.
3.
Pemerintahan daerah sebagai persiapan
untuk karir politik lanjutan. Banyak
kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan langkah
persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama karir di bidang politik dan
pemerintahan ditingkat nasional.
4.
Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi
bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada
tingkat lokal. Hal ini dilihat dari terjadinya pergolakan daerah pada tahun
1957 – 1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena
daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5.
Kesetaraan politik (political equality).
Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara
berbatgai komponen masyarakat akan terwujud.
6.
Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan
ruang dan peluang kepada masyarakt, termasuk didaerah, untuk berpartisipasi
dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.
2.2.2 Tujuan Kelembagaan Daerah
Tujuan
dari Kelembagaan Daerah adalah:
1. Mencegah
pemusatan keuangan
2. Sebagai
usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
3. Penyusunan
program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga
dapat lebih realistis.
2.3 Pentingnya Kelembagaan Daerah
Alasan
pentinya di bentuk Kelembagaan Daerah Ialah:
1. Kehidupan
berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu
pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
2. Pembagian
kekayaan secara tidak adil dan merata
3. Kesenjangan
sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain
sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali,
sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
Sementara lain ada alesan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus
memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah daerah
(desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai berikut :
(Jose Riwu Kaho, 2001,h.8):
o
Dari sudut politik sebagai permainan
kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan
untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya
dapat menimbulkan tirani.
o
Dalam bidang politik, penyelenggaraan
desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat
ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak
demokrasi.
o
Dari sudut teknik organisatoris
pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah
semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap
lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan
pada daerah.
o
Dari sudut kultur, desentralisasi perlu
diadakan supaya adanya perhatian sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan
sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak
kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
o
Dari sudut kepentingan pembangunan
ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak
dan secara langsung dapat membantu pembangunan tersebut.
2.4 Implementasi Kelembagaan Daerah
Kelembagaan
Daerah saat ini telah menjadi dasar penyelenggara pemerintahan yang diterima
secara universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal
ini sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, mengingat kondisi geografis,
kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktuk sosial dan budaya
lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sejak
diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek
positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Dan
implementasi dari Pemerintah Daerah ialah adanya Otonomi Daerah. Otonomi Daerah
memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah
untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku
pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan
pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah,
termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam
proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada
masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah
justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang
didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis
bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Selain
membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan Otonomi
Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan Otonomi
Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya datang
dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar
ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi
daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era
otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di
segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah.
Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada
umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
Selain
karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan
berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul
karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai
penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
a. Adanya
kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
b. Keterbatasan
sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin
operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah Daerah
menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau
meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya akan
menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah
daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya
akam menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
c. Penggunaan
dana anggaran yang tidak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari pemberian
fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas yang
berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerah.
d. Rusaknya
Sumber Daya Alam. Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya
keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD),
di mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa
mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari
beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran
sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses
yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap
tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang
berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air.
Eksploitasi hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan
hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya
sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat
bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
e. Bergesernya
praktik korupsi dari pusat ke daerah. Praktik korupsi di daerah tersebut
terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement).
Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga
barang tersebut sebenarnya di pasar.
f. Pemerintahan
kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari hutan
milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
Berdasarkan
uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia masih belum optimal. Secara keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah
di tempat-tempat lain di seluruh pelosok Indonesia masih belum dapat berjalan
dengan optimal. Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain
disebabkan karena adanya berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh
berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah
otonom.
Banyak
hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah,
tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk meningkatkan
pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah tersebut. Sumber Daya Manusia
yang berkualitas merupakan subjek dimana faktor-faktor lain yang ikut
menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh
karena itu, sangat penting sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia karena inilah kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia.
2.5 Sejarah Sistem Kelembagaan Daerah
yang Pernah ada di Indonesia
A. Sistem Kelembagaan Daerah Sebelum
Kemerdekaan
Kelembagaan
Daerah yang relatif otonom pertama kali didirikan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda melalui Desentralisatie Wet Tahun 1903. Undang-undang ini hanya
mencakup wilayah Jawa dan Madura saja. Sebelum Tahun 1903, seluruh wilayah
Hindia Belanda diperintah secara sentral di bawah Gubernur Jenderal sebagai
Wakil Raja Belanda di tanah jajahan. Disamping itu, terdapat juga daerah-daerah
yang disebut ‘Swapraja’ yang diperintah oleh raja-raja pribumi setempat.
Raja-raja tersebut memerintah berdasarkan kontrak politik yang ditandatangani
dengan wakil Pemerintah Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa
tugas atas nama pemerintah kolonial, di antara kerajaan tersebut adalah
Yogyakarta, Surakarta, Deli dan Bone.
Perbedaan
sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU Tahun 1903 terletak pada
eksistensi Dewan Daerah. Sebelum itu,
tidak terdapat sama sekali otonomi pemerintahan daerah. Semua unit
pemerintah bersifat administratif atas dasar prinsip dekonsentrasi. Setelah UU
Tahun 1903 diterbitkan, didirikanlah Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan
tertentu, di mana mereka diberikan kewenangan menggali pendapatan daerah guna
membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah diangkat dari tokoh
setempat, namun Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat Pemerintah Pusat.
B. Sistem Kelembagaan Daerah Paska
Kemerdekaan
Sistem
Kelembagaan daerah di Indonesia paska proklamasi ditandai dengan
diberlakukannya berbagai peraturan perudang-undangan tentang pemerintahan
daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan pada suatu kurun waktu tertentu
menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah, yang mana hal
ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional.
C. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang
Kelembagaan Daerah
Undang-undang
ini diterbitkan 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang Kelembagaan Daerah
yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18
UUD 1945. Sistem Kelembagaan daerah berdasarkan undang-undang tersebut adalah
dibentuknya Komite Nasional Daerah pada setiap tingkatan daerah otonom
terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan
legislatif dan anggota-anggota diangkat oleh Pemerintah Pusat. Untuk
menjalankan roda pemerintahan daerah, Komite memilih lima orang dari anggotanya
untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin Kepala Daerah. Kepala
Daerah menjalankan dua fungsi utama; Sebagai Kepala Daerah Otonom dan sebagai
Wakil Pemerintah Pusat di daerah tersebut. Sistem ini mencerminkan kehendak
Pemerintah untuk menerapkan desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem
pemerintahan daerah, namun penekanannya lebih pada prinsip dekonsentrasi.
D. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor
22 Tahun 1948
UU
No. 22 Tahun 1948 dikeluarkan 10 Juli 1948, dimaksudkan sebagai pengganti UU
Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap tidak sesuai dengan semangat kebebasan. UU 22
Tahun 1948 hanya mengatur tentang daerah otonom dan sama sekali tidak
menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya mengakui 3
tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten atau kotamadya dan desa atau
kota kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah
(DPD).
Kepala
Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari
calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. Walau demikian, terdapat klausul dalam
Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1948 yang memungkinkan Pemerintah untuk mengangkat
orang-orang pilihan Pemerintah Pusat, yang umumnya diambil dari Pamong Praja
untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut Pemerintah sering
menempatkan calon yang dikehendaki tanpa harus mendapatkan persetujuan DPRD.
E. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 1
tahun 1957
UU
No. 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan lebih jauh lagi ke arah
desentralisasi. UU No. 1 Tahun 1957 adalah produk sistem parlementer liberal
hasil Pemilihan Umum pertama tahun 1955, di mana partai-partai politik menuntut
adanya Pemerintah Daerah yang demokratik.
F.
Penetapan
Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959
Pada
tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,
Pemerintah mengeluarkan Penpres 6 tahun 1959 untuk mengatur Pemerintah Daerah
agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa Pemerintah
Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi
yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pusat di daerah. Kepala Daerah juga
bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah, dia bertanggungjawab
kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat
dia bertanggungjawab kepada Pemerintah Pusat.
G. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor
18 Tahun 1965
Kebijakan
pada UU No. 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi
menuju desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada
Kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan
demikian, kesetiaan atau loyalitas eksekutif daerah tidak lagi hanya kepada Pemerintah
Pusat. Pada masa ini terjadi tuntutan yang kuat untuk memberikan otonomi yang
seluas-luasnya kepada daerah dan tuntutan pendirian daerah otonomi tingkat III
yang berbasis pada Kecamatan. Kondisi tersebut akan memungkinkan Parpol untuk
mendapatkan dukungan politis dari grass-roots.
H. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
Era
demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era pemerintahan Orde
Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun 1965 diganti dengan UU
No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prakteknya, prinsip
dekonsentrasi lebih dominan. Struktur pemerintahan daerah terdiri dari kepala
Daerah Otonom dan sebagai Kepala Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah).
DPRD
mempunyai kewenangan melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan
akhir ada di tangan Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif
untuk menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut
pada satu sisi telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan
program-program nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain,
kondisi telah menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan
otonominya, seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan,
kelembagaan, personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh
Pemerintah Daerah.
I. Masa
Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan untuk mengoreksi UU
5 Tahun 1974 yang dirasa sentralistik
menjadi desentralistik dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan
local, serta meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi
seluas-luasnya menjiwai hampir di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan
keuangan yang di UU pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan
secara penuh kepada Daerah.
Sebagian
besar istilah yang dipakai di UU ini mengadopsi dari UU No. 5 Tahun 1974, namun
istilah “subsidi”, “ganjaran” dan “sumbangan” dihapus sama sekali, diganti
dengan dana perimbangan. Menurut UU ini, Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala
Daerah dan perangkat Daerah; DPRD berada di luar Pemerintah Daerah berfungsi
sebagai Badan legislatif Daerah yang mengawasi jalannya pemerintahan. Otonomi
daerah tetap dititik beratkan di Kabupaten/Kota, namun Bupati/Walikota tidak
lagi bertindak selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Fungsi ini dipegang hanya
oleh Gubernur sebagai bagian dari Integrated Prefectoral System, Secara
eksplisit, UU ini juga menyebutkan tidak ada hubungan hierarkhis antara
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam
penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang diselenggarakan berdasarkan UU
No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai potensi permasalahan, antara lain (1) terjadinya konflik kewenangan
seperti di Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi
lainnya; (2) Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya
organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (3) rekruitmen,
pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme,
pendekatan kedaerahan didahulukan; (4) sarana dan prasarana organisasi
terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (5) manajemen
pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar; (6)
dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses
antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, ketergantungan
daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan penerimaan sah lainnya
yang belum dioptimalkan; (7) standar pelayanan minimum yang belum terumuskan
dengan baik; dan (8) DPRD dalam system perwakilan (baru) menjadi sangat
powerfull, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera oleh Laporan
Pertanggungjawaban.
I.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam
rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai amanat UUD 1945 yang telah di
amandemen, maka UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Ini
merupakan penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan,
ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Secara garis besar
penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 didasarkan untuk penyesuaian
ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan UUD 1945, Ketetapan dan
Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan dengan undang¬-undang bidang
politik dan undang-undang lainnya. Di samping itu juga melakukan penyempurnaan
terhadap ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan,
menyebabkan penafsiran ganda dan belum lengkap.
Pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru dengan
terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah
diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang tersebut secara
substansial mengubah beberapa paradigma
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya
adalah desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat
kontinum bukan bersifat dikotomis. Secara filosofi, keberadaan Pemerintahan
Daerah disebabkan karena adanya masyarakat pada daerah otonomi. Pemerintahan
Daerah dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga
keberadaan Pemerintahan Daerah dalam rangka pemberian pelayanan merupakan inti
dari penyelenggaraan otonomi daerah.
Orientasi
pemberian pelayanan kepada masyarakat ini dapat dilihat antara lain dalam hal
pembentukan daerah yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik,
mempercepat kesejahteraan masyarakat, serta sebagai sarana pendidikan politik
di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah mempertimbangkan berbagai
faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan
dan pertimbangan dari aspek politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu
menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya otonomi daerah. Dalam
pembentukan daerah, UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan
administrasi, teknis dan fisik kewilayahan.
Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat menjamin terselenggaranya
pelayanan secara optimal.
Akar
masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan otonomi daerah.
Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah. Akibatnya konsep
“urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah untuk menggali
sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan. Akibatnya, terjadi perebutan urusan antar tingkatan
pemerintahan dengan justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya
pelayanan masyarakat.
Orientasi
pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004, dicerminkan dalam pembagian
urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian urusan pemerintahan dalam konteks
desentralisasi merupakan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah kepada
daerah otonom. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah saja (eksekutif), tidak termasuk
urusan yang menjadi kewenangan legislatif (pembuatan UU) dan urusan yang
menjadi kewenangan yudikatif (peradilan), Pembagian urusan pemerintahan
berangkat dari adanya diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan semuanya oleh
Pemerintah atau semuanya diserahkan kepada daerah.
Berkenaan
dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian urusan yang spesifik.
Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi,
dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent atau urusan yang dapat
dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun kabupaten/Kota. Pembagian
urusan ini diatur dalam pasal 11 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian
urusan pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa. Dalam urusan
bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan
urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup
minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat
pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan.
Adanya
pengaturan yang bersifat wajib, sangat terkait dengan kebutuhan mendasar
masyarakat, sehingga menjadi kewajiban bagi Pemerintah Daerah untuk menyediakan
pelayanan yang prima. Adanya pengaturan tersebut dimaksudkan untuk
menghindarkan daerah melakukan urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan
warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan urusan atas pertimbangan
pendapatan semata.
Selanjutnya agar penyediaan pelayanan kepada
masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal, pelaksanaan pelayanan
kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus berpedoman kepada Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh Pemerintah. Selain melaksanakan
urusan yang bersifat wajib, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah juga
mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004,
sebagai penegasan bahwa Pemerintahan Daerah merupakan sub-sistem dari sistem
pemerintahan Nasional dalam perspektif pemberian pelayanan umum. Sebagai
implikasi dari penataan urusan perlu dilakukan penataan kelembagaan yang pada
prinsipnya merupakan pewadahan dari urusan yang diserahkan kepada daerah yaitu
lembaga Pemerintahan Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), serta ditetapkan
organisasi dan tata kerja Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah.
Aspek
penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari unsur keterlibatan
masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah. Berdasarkan konsep ini,
pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para pejabat yang memimpin
Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan bebas oleh masyarakat
dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka berdasarkan UU No. 32
Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah akan dipilih
secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada
bulan Juni Tahun 2005.
Melalui
Pemilihan yang demokratis ini diharapkan akan memperkuat posisi Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam mewujudkan
Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antara
Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara
dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara lembaga
pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artinya tidak
saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa
Peraturan Daerah.
Hubungan
kemitraan bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama
mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah
sesuai fungsi masing-masing, sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu
hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung, bukan merupakan lawan ataupun
pesaing dalam melaksanakan fungsi masing-masing. Keberadaan DPRD yang merupakan
lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and balances
disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga melalui fungsi
legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk menciptakan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.
J.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Kelembagaan Daerah.
UU
No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara keseluruhan undang-undang
tersebut memiliki kesamaan dengan UU No. 32 tahun 2004 namun ada beberapa pasal
yang mengalami perubahan. Kemudian ditambahkan, prinsip secara umum atau garis
besar UU Nomor 23 tahun 2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan
UU Nomor 32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala
daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah .
Di
sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (
NKRI ) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan
kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan
dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan kepala desa/lurah adalah
camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan seterusnya. karna melaksanakan
urusan pemerintahan umum. Bupati dan walikota melibatkan urusan pemerintahan
umum kepada camat, otomatis camat merupakan kepala wilayah.
2.6 Perbandingan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
A. UU No. 32 Tahun 2004
Dengan
diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada tanggal 15
Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebenarnya
antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsipal karena
keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan
tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Pada
UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan
khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan,
kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan
daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan,
desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi daerah.
Menurut
UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk
pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan
provinsi-provinsi di Papua.
Bagi
daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah
lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut,
dapat diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi
daerah yang bersifat khusus dan
istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan dapat juga diatur dengan
UU tersendiri.
Ada
perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra
sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dan
DPRD hanya berwenang meminta laporan keterangan pertanggung jawaban dari kepala
daerah. Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”.
Desa
yang ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama
Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan
tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang
berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten. Pada Undang-Undang No.32/2004
mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan lain. Otonomi desa
dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan pernusyawaratan desa
sebagai perwujudan demokrasi.
B. UU No. 23 tahun 2014
Pada
UU No. 23 tahun 2014 Secara keseluruhan memiliki kesamaan dengan UU No. 32
tahun 2004 namun ada beberapa pasal yang mengalami perubahan. Kemudian
ditambahkan, prinsip secara umum atau garis besar UU Nomor 23 tahun 2014 ini
merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU Nomor 32 tahun 2004. Sehingga
fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala
wilayah .
Di
sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (
NKRI ) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan
kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan
dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan kepala desa/lurah adalah
camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan seterusnya. karna melaksanakan
urusan pemerintahan umum. Bupati dan walikota melibatkan urusan pemerintahan
umum kepada camat, otomatis camat merupakan kepala wilayah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kelembagaan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Berbagai
argument dan penjelasan mengenai fungsi Kelembagaan Daerah yaitu :
a. Untuk
terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan.
b. Sebagai
sarana pendidikan politik.
c. Pemerintahan
daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
d. Stabilitas
politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya
berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal.
e. Kesetaraan
politik (political equality).
f. Akuntabilitas
publik.
3.
Tujuan dari Kelembagaan Daerah adalah:
a. Mencegah
pemusatan keuangan
b. Mebagai
usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
c. Penyusunan
program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga
dapat lebih realistis.
d. Alasan
pentinya di bentuk Pemerintah Daerah Ialah:
e. Kehidupan
berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu
pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
f. Pembagian
kekayaan secara tidak adil dan merata.
g. Kesenjangan
sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain
sangat terasa.
5. Sejak
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek
positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Otonomi
Daerah dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah
untuk mengatur diri sendiri. Namun dampak Negatif tidak dapat dihindari karena
bisa saja terjadi Praktek Korupsi di Kelembagaan Daerah.
3.2 Saran
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terjadi di Indonesia saat ini sungguh
menyedihkan karena adanya hal-hal negatif yang terjadi khususnya pada
pemerintahan daerah baik provinsi maupun daearh kabupaten/kota. Saya menyadari
bahwa materi yang saya jelaskan masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga
untuk mengetahui lebih luas tentang kelembagaan Daerah, pembaca dapat
memperoleh dari berbagai sumber lainnya, seperti buku, referensi, ataupun
internet.
DAFTAR
PUSTAKA
Widarta.2001. Cara Mudah
Memahami Otonomi Daerah. Jakarta : Larela Pustaka Utama
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
http://pemerintah.net/organisasi-perangkat-daerah/&ei=i2WPMBMx&lc=id
http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/perbandingan-undang-undang-nomor-5.html#ixzz3Vk1gSlwU
http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/perbandingan-undang-undang-nomor-5.html
http://brainly.co.id/tugas/1723432
Google:http//www.otonomidaerah.com.
“latar belakang munculnya otonomi daerah.”
Komentar
Posting Komentar